Tuesday, February 5, 2013

Surat Al-Baqarah dan terjemahannya ayat 181 sampai 200

Assalammu'alaikum? Saya Ahmad Rifa'i. Semoga Blog saya dapat Bermanfaat untuk saudara sekalian. ( Amin )

( Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang )

 
181. Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.



  
182. (Akan tetapi) barangsiapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan[113] antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

[113]. Mendamaikan ialah menyuruh orang yang berwasiat berlaku adil dalam mewasiatkan sesuai dengan batas-batas yang ditentukan syara'.


Puasa


 
183. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,


  
184. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan[114], maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

[114]. Maksudnya memberi makan lebih dari seorang miskin untuk satu hari.

Ayat ini (S. 2: 184) turun berkenaan dengan maula (Budak yang sudah dimerdekakan) Qais bin Assa-ib yang memaksakan diri berpuasa, padahal ia sudah tua sekali. Dengan turunnya ayat ini (S. 2: 184), ia berbuka dan membayar fidyah dengan memberi makan seorang miskin, selama ia tidak berpuasa itu.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Sa'd di dalam kitab at-Thabaqat yang bersumber dari Mujahid.)

 

  
185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.


  
186. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

Ayat ini turun berkenaan dengan datangnya seorang Arab Badui kepada Nabi SAW yang bertanya: "Apakah Tuhan kita itu dekat, sehingga kami dapat munajat/memohon kepada-Nya, atau jauh, sehingga kami harus menyeru-Nya?" Nabi SAW terdiam, hingga turunlah ayat ini (S. 2: 186) sebagai jawaban terhadap pertanyaan itu.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Marduwaih, Abussyaikh dan lain-lainnya dari beberapa jalan, dari Jarir bin Abdul Hamid, dari Abdah as-Sajastani, dari as-Shalt bin Hakim bin Mu'awiyah bin Jaidah, dari bapaknya yang bersumber dari datuknya.)

Menurut riwayat lain, ayat ini (S. 2: 186) turun sebagai jawaban terhadap beberapa shahabat yang bertanya kepada Nabi SAW: "Dimanakah Tuhan kita?"
(Diriwayatkan oleh 'Abdurrazzaq dari Hasan, tetapi ada sumber-sumber lain yang memperkuatnya. Hadits ini mursal.)

Menurut riwayat lain, ayat ini (S. 2: 186) turun berkenaan dengan sabda Rasulullah SAW: "Janganlah kalian berkecil hati dalam berdoa, karena Allah SWT telah berfirman "Ud'uni astajib lakum" yang artinya berdoalah kamu kepada-Ku, pasti aku mengijabahnya) (S. 40. 60). Berkatalah salah seorang di antara mereka: "Wahai Rasulullah! Apakah Tuhan mendengar doa kita atau bagaimana?" Sebagai jawabannya, turunlah ayat ini (S. 2: 186)
(Diriwayatkan oleh Ibnu 'Asakir yang bersumber dari Ali.)

Menurut riwayat lain, setelah turun ayat "Waqala rabbukum ud'uni astajib lakum" yang artinya berdoalah kamu kepada-Ku, pasti aku mengijabahnya (S. 40: 60), para shahabat tidak mengetahui bilamana yang tepat untuk berdoa. Maka turunlah ayat ini (S. 2: 186)
(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari 'Atha bin abi Rabah.)



  
187. Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf[115] dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

[115]. I'tikaf ialah berada dalam mesjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah.

Mengenai turunnya ayat ini terdapat beberapa peristiwa sebagai berikut:

a. Para shahabat Nabi SAW menganggap bahwa makan, minum dan menggauli istrinya pada malam hari bulan Ramadhan, hanya boleh dilakukan sementara mereka belum tidur. Di antara mereka Qais bin Shirmah dan Umar bin Khaththab. Qais bin Shirmah (dari golongan Anshar) merasa kepayahan setelah bekerja pada siang harinya. Karenanya setelah shalat Isya, ia tertidur, sehingga tidak makan dan minum hingga pagi. Adapun Umar bin Khaththab menggauli istrinya setelah tertidur pada malam hari bulan Ramadhan. Keesokan harinya ia menghadap kepada Nabi SAW untuk menerangkan hal itu. Maka turunlah ayat "Uhilla lakum lailatashshiamir rafatsu sampai atimmush shiyama ilal lail" (S. 2: 187)
(Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim dari Abdurrahman bin Abi Laila, yang bersumber dari Mu'adz bin Jabal. Hadits ini masyhur, artinya hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih kepada tiga orang atau lebih dan seterusnya. Walaupun ia tidak mendengar langsung dari Mu'adz bin Jabal, tapi mempunyai sumber lain yang memperkuatnya.)

b. Seorang shahabat Nabi SAW tidak makan dan minum pada malam bulan Ramadhan, karena tertidur setelah tibanya waktu berbuka puasa. Pada malam itu ia tidak makan sama sekali, dan keesokan harinya ia berpuasa lagi. Seorang shahabat lainnya bernama Qais bin Shirmah (dari golongan Anshar), ketika tiba waktu berbuka puasa, meminta makanan kepada istrinya yang kebetulan belum tersedia. Ketika istrinya menyediakan makanan, karena lelahnya bekerja pada siang harinya, Qais bin Shirmah tertidur. Setelah makanan tersedia, istrinya mendapatkan suaminya tertidur. Berkatalah ia: "Wahai, celakalah engkau." (Pada waktu itu ada anggapan bahwa apabila seseorang sudah tidur pada malam hari bulan puasa, tidak dibolehkan makan). Pada tengah hari keesokan harinya, Qais bin Shirmah pingsan. Kejadian ini disampaikan kepada Nabi SAW. Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 187) sehingga gembiralah kaum Muslimin.

c. Para shahabat Nabi SAW apabila tiba bulan Ramadhan tidak mendekati istrinya sebulan penuh. Akan tetapi terdapat di antaranya yang tidak dapat menahan nafsunya. Maka turunlah ayat " 'Alimal lahu annakum kuntum takhtanuna anfusakum fataba'alaikum wa'afa 'ankum sampai akhir ayat."
(Diriwayatkan oleh Bukhari dari al-Barra.)

d. Pada waktu itu ada anggapan bahwa pada bulan Ramadhan yang puasa haram makan, minum dan menggauli istrinya setelah tertidur malam hari sampai ia berbuka puasa keesokan harinya. Pada suatu ketika 'umar bin Khaththab pulang dari rumah Nabi SAW setelah larut malam. Ia menginginkan menggauli istrinya, tapi istrinya berkata: "Saya sudah tidur." 'Umar berkata: "Kau tidak tidur", dan ia pun menggaulinya. Demikian juga Ka'b berbuat seperti itu. Keesokan harinya 'umar menceritakan hal dirinya kepada Nabi SAW. Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 187) dari awal sampai akhir ayat.
(Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim dari Abdullah bin Ka'b bin Malik, yang bersumber dari bapaknya.)

e. Kata "minal fajri" dalam S. 2: 187 diturunkan berkenaan dengan orang-orang pada malam hari, mengikat kakinya dengan tali putih dan tali hitam, apabila hendak puasa. Mereka makan dan minum sampai jelas terlihat perbedaan antara ke dua tali itu, Maka turunlah ayat "minal fajri". Kemudian mereka mengerti bahwa khaithul abydlu minal khaitil aswadi itu tiada lain adalah siang dan malam.
(Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari Sahl bin Sa'id.)

f. Kata "wala tubasyiruhunna wa antum 'akifuna fil masajid" dalam S. 2: 187 tersebut di atas turun berkenaan dengan seorang shahabat yang keluar dari masjid untuk menggauli istrinya di saat ia sedang i'tikaf.
(Diriwayatkan oleh ibnu Jarir yang bersumber dari Qatadah.)


  
188. Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.

Ayat ini turun berkenaan dengan Imriil Qais bin 'Abis dan 'Abdan bin Asyma' al-Hadlrami yang bertengkar dala soal tanah. Imriil Qais berusaha untuk mendapatkan tanah itu menjadi miliknya dengan bersumpah di depan Hakim. Ayat ini sebagai peringatan kepada orang-orang yang merampas hak orang dengan jalan bathil.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Sa'id bin Jubair.)


 

Berjihad dengan jiwa dan harta di jalan Allah s.w.t.

  
189. Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya[116], akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.

[116]. Pada masa jahiliyah, orang-orang yang berihram di waktu haji, mereka memasuki rumah dari belakang bukan dari depan. Hal ini ditanyakan pula oleh para sahabat kepada Rasulullah s.a.w., maka diturunkanlah ayat ini.

"Yas alunaka 'anil ahillah sampai linnasi walhajji" diturunkan sebagai jawaban terhadap banyaknya pertanyaan kepada Rasulullah SAW tentang peredaran bulan.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari al-Ufi yang bersumber dari Ibnu Abbas.)

Menurut riwayat lain orang-orang bertanya kepada Rasulullah SAW: "Untuk apa diciptakan bulan sabit?" Maka turun ayat tersebut di atas sebagai penjelasan.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abil 'Aliah.)

Menurut riwayat lain "Yas alunaka 'anil ahillah sampai linnasi walhajji" ini berkenaan dengan pertanyaan Mu'adz bin Jabal dan Tsa'labah bin Ghunamah kepada Rasulullah SAW. "Ya Rasulullah! Mengapa bulan sabit itu mulai timbul kecil sehalus benang, kemudian bertambah besar hingga bundar dan kembali seperti semula, tiada tetap bentuknya?" Sebagai jawabannya turunlah ayat ini.
(Diriwayatkan oleh Abu Na'im dan Ibnu 'Asakir di dalam tarikh Dimasyqa, dari as-Suddi as-Shaghir, dari al-Kalbi dari Abi Shaleh yang bersumber dari Ibnu Abbas.)

"Walaisal birru bi anta'tul buyuta min dhuhuriha" sampai akhir ayat, diturunkan berkenaan dengan kebiasaan orang jahiliyyah sepulangnya menunaikan ihram di Baitullah memasuki rumahnya dari pintu belakang.
(Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari al-Barra.)

Menurut riwayat lain, orang-orang Quraisy yang diberi jukukan al-Hams (Ksatria) menganggap baik apabila melakukan ihram masuk dan keluar melalu pintunya, akan tetapi kaum Anshar dan orang-orang Arab lainnya masuk dan keluar tidak melalui pintunya. Pada suatu hari orang-orang melihat Quthbah bin Amir (dari kaum Anshar) keluar melalui pintu mengikuti Rasulullah SAW. Serempaklah mereka mengadu atas pelanggaran tersebut, sehingga Rasulullah SAW segera menegurnya. Quthbah menjawab: "Saya hanya mengikuti apa yang tuan lakukan." Rasulullah SAW bersabda: "Aku ini seorang Ksatria." Quthbah menjawab: "Saya pun penganut agama tuan." Maka turunlah "Walaisal birru bi anta'tul buyuta sampai akhir ayat."
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan al-Hakim yang bersumber dari Jabir. Menurut al-Hakim, hadits ini shahih. Ibnu Jarir meriwayatkan dari al-Ufi yang bersumber dari Ibnu Abbas.)

Menurut riwayat lain, ayat ini turun berkenaan dengan kaum Anshar yang apabila pulang dari perjalanan, tidak masuk rumah melalui pintunya.
(Diriwayatkan oleh at-Thayalisi yang bersumber dari al-Barra.)

Menurut riwayat lain peristiwanya sebagai berikut. Orang-orang pada waktu itu apabila hendak berihram di baitullah tidak masuk melalui pintunya, kecuali golongan ksatria (al-Hams). Pada suatu hari Rasulullah SAW masuk dan keluar halaman Baitullah melalui pintunya diikuti oleh rifa'ah bin Tabut, padahal dia bukan ksatria. Maka mengadulah orang-orang yang melihatnya: "Wahai Rasulullah, Rifa'ah melanggar." Rasulullah SAW bersabda kepada Rifa'ah: "Mengapa kamu berbuat demikian?" Ia berkata: "Saya mengikuti tuan." Nabi bersabda: "Aku ini Ksatria." Ia menjawab: "Agama kita satu," Maka turunlah "Walaisal birru bi anta'tul buyuta sampai akhir ayat."
(Diriwayatkan oleh 'abdu bin Hamid yang bersumber dari Qais bin Habtar an-Nahsyali.)



 
190. Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan "perdamaian di Hudaibiah", yaitu ketika Rasulullah SAW dicegat oleh kaum Quraisy untuk memasuki Baitullah. Adapun isi perdamaian tersebut antara lain agar kaum Muslimin menunaikan umrahnya pada tahun berikutnya. Ketika Rasulullah SAW beserta shahabatnya memeprsiapkan diri untuk melaksanakan umrah tersebut sesuai dengan perjanjian, para shahabat khawatir kalau-kalau orang-orang Quraisy tidak menepati janjinya, bahkan memerangi dan menghalangi mereka masuk di Masjidil Haram, padahal kaum Muslimin enggan berperang pada bulan haram. Turunnya "Waqatilu fi sabilillahil ladzina (S. 2: 190) sampai (S. 2: 193)" membenarkan berperang untuk membalas serangan musuh.
(Diriwayatkan oleh al-Wahidi dari al-Kalbi, dari Abi Shaleh yang bersumber dari Ibnu Abbas.)



  
191. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah[117] itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir. 

[117]. Fitnah (menimbulkan kekacauan), seperti mengusir sahabat dari kampung halamannya, merampas harta mereka dan menyakiti atau mengganggu kebebasan mereka beragama. 

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan "perdamaian di Hudaibiah", yaitu ketika Rasulullah SAW dicegat oleh kaum Quraisy untuk memasuki Baitullah. Adapun isi perdamaian tersebut antara lain agar kaum Muslimin menunaikan umrahnya pada tahun berikutnya. Ketika Rasulullah SAW beserta shahabatnya memeprsiapkan diri untuk melaksanakan umrah tersebut sesuai dengan perjanjian, para shahabat khawatir kalau-kalau orang-orang Quraisy tidak menepati janjinya, bahkan memerangi dan menghalangi mereka masuk di Masjidil Haram, padahal kaum Muslimin enggan berperang pada bulan haram. Turunnya "Waqatilu fi sabilillahil ladzina (S. 2: 190) sampai (S. 2: 193)" membenarkan berperang untuk membalas serangan musuh.
(Diriwayatkan oleh al-Wahidi dari al-Kalbi, dari Abi Shaleh yang bersumber dari Ibnu Abbas.)

 



 
192. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan "perdamaian di Hudaibiah", yaitu ketika Rasulullah SAW dicegat oleh kaum Quraisy untuk memasuki Baitullah. Adapun isi perdamaian tersebut antara lain agar kaum Muslimin menunaikan umrahnya pada tahun berikutnya. Ketika Rasulullah SAW beserta shahabatnya memeprsiapkan diri untuk melaksanakan umrah tersebut sesuai dengan perjanjian, para shahabat khawatir kalau-kalau orang-orang Quraisy tidak menepati janjinya, bahkan memerangi dan menghalangi mereka masuk di Masjidil Haram, padahal kaum Muslimin enggan berperang pada bulan haram. Turunnya "Waqatilu fi sabilillahil ladzina (S. 2: 190) sampai (S. 2: 193)" membenarkan berperang untuk membalas serangan musuh.
(Diriwayatkan oleh al-Wahidi dari al-Kalbi, dari Abi Shaleh yang bersumber dari Ibnu Abbas.)



 
193. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.



Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan "perdamaian di Hudaibiah", yaitu ketika Rasulullah SAW dicegat oleh kaum Quraisy untuk memasuki Baitullah. Adapun isi perdamaian tersebut antara lain agar kaum Muslimin menunaikan umrahnya pada tahun berikutnya. Ketika Rasulullah SAW beserta shahabatnya memeprsiapkan diri untuk melaksanakan umrah tersebut sesuai dengan perjanjian, para shahabat khawatir kalau-kalau orang-orang Quraisy tidak menepati janjinya, bahkan memerangi dan menghalangi mereka masuk di Masjidil Haram, padahal kaum Muslimin enggan berperang pada bulan haram. Turunnya "Waqatilu fi sabilillahil ladzina (S. 2: 190) sampai (S. 2: 193)" membenarkan berperang untuk membalas serangan musuh.
(Diriwayatkan oleh al-Wahidi dari al-Kalbi, dari Abi Shaleh yang bersumber dari Ibnu Abbas.)



  
194. Bulan haram dengan bulan haram[118], dan pada sesuatu yang patut dihormati[119], berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.

[118]. Kalau umat Islam diserang di bulan haram, yang sebenarnya di bulan itu tidak boleh berperang, maka diperbolehkan membalas serangan itu di bulan itu juga.

[119]. Maksudnya antara lain ialah: bulan haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah haram (Mekah) dan Ihram.

Dalam suatu riwayat dikemukakan peristiwa sebagai berikut: Pada bulan Dzulqaidah Nabi SAW dengan para shahabatnya berangkat ke Mekah untuk menunaikan umrah dengan membawa qurban. Setibanya di Hudaibiah, dicegat oleh kaum Musyrikin, dan dibuatlah perjanjian yang isinya antara lain agar kaum Muslimin menunaikan umrahnya pada tahun berikutnya. Pada bulan Dzulqaidah tahun berikutnya berangkatlah Nabi SAW beserta shahabatnya ke Mekah, dan tinggal di sana selama tiga malam. Kaum musyrikin merasa bangga dapat menggagalkan maksud Nabi SAW untuk umrah pada tahun yang lalu. Allah SWT membalasnya dengan meluluskan maksud umrah pada bulan yang sama pada tahun berikutnya. Turunnya ayat tersebut di atas (S. 2: 194) berkenaan dengan peristiwa tersebut.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Qatadah.)


 
195. Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini (S. 2: 195) turun berkenaan dengan hukum nafkah.
(Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari Hudzaifah.)

Dalam riwayat lain dikemukakan peristiwa sebagai berikut: Ketika Islam telah berjaya dan berlimpah pengikutnya, kaum Anshar berbisik kepada sesamanya: "Harta kita telah habis, dan Allah telah menjayakan Islam. Bagaimana sekiranya kita membangun dan memperbaiki ekonomi kembali?" Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 195) sebagai teguran kepada mereka, jangan menjerumuskan diri pada "tahlukah" (meninggalkan kewajiban fi sabilillah dan berusaha menumpuk-numpuk harta)
(Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Hibban, al-Hakim dan yang lainnya yang bersumber dari Abi Ayub al-Anshari. Menurut Tirmidzi hadits ini shahih.)

Menurut riwayat lain, tersebutlah seseorang yang menganggap bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa yang pernah dilakukannya. Maka turunlah "Wala tulqui biaidikum ilat-tahlukah."
(Diriwayatkan oleh at-Thabarani dengan sanad yang shahih dan kuat, yang bersumber dari Jabir an-Nu'man bin Basyir. Hadits ini diperkuat oleh al-Hakim yang bersumber dari al-Barra.)


Haji

 
196. Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban[120] yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu[121], sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.

[120]. Yang dimaksud dengan korban di sini ialah menyembelih binatang korban sebagai pengganti pekerjaan wajib haji yang ditinggalkan; atau sebagai denda karena melanggar hal-hal yang terlarang mengerjakannya di dalam ibadah haji.

[121]. Mencukur kepala adalah salah satu pekerjaan wajib dalam haji, sebagai tanda selesai ihram.

Mengenai turunnya ayat ini terdapat beberapa peristiwa sebagai berikut: a. Seorang laki-laki berjubah yang semerbak dengan wewangian zafaran menghadap kepada Nabi SAW dan berkata. "Ya Rasulullah, apa yang harus saya lakukan dalam menunaikan umrah?" Maka turunlah "Wa atimmulhajja wal 'umrata lillah." Rasulullah bersabda: "Mana orang yang tadi bertanya tentang umrah itu?" Orang itu menjawab: "Saya ya Rasulullah." Selanjutnya Rasulullah SAW bersabda. "Tanggalkan bajumu, bersihkan hidung dan mandilah dengan sempurna, kemudian kerjakan apa yang biasa kau kerjakan pada waktu haji."
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Shafwan bin Umayyah.)

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Ka'b bin Ujrah ditanya tentang firman Allah "fafidyatum min shiyamin aw shadaqatin aw nusuk" (S. 2. 196). Ia bercerita sebagai berikut: "Ketika sedang melakukan umrah, saya merasa kepayahan, karena di rambut dan di muka saya bertebaran kutu. Ketika itu Rasulullah SAW melihat aku kepayahan karena penyakit pada rambutku itu. Maka turunlah "fafidyatum min shiyamin aw shadaqatin aw nusuk" khusus tentang aku dan berlaku bagi semua. Rasulullah bersabda: "Apakah kamu punya biri-biri untuk fidyah?" Aku menjawab bahwa aku tidak memilikinya. Rasulullah SAW bersabda: "Berpuasalah kamu tiga hari, atau beri makanlah enam orang miskin. Tiap orang setengah sha' (1 1/2 liter) makanan, dan bercukurlah kamu."
(Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari Ka'b bin 'Ujrah.)

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ketika Rasulullah SAW beserta shahabat berada di Hudaibiyah sedang berihram, kaum musyrikin melarang mereka meneruskan umrah. Salah seorang shahabat, yaitu Ka'b bin Ujrah, kepalanya penuh kutu hingga bertebaran ke mukanya. Ketika itu Rasulullah SAW lewat di hadapannya dan melihat Ka'b bin 'Ujrah kepayahan. Maka turunlah "faman kana minkum maridlan aw bihi adzan mirra'shihi fafidyatun min shiyamin aw shadaqatin aw nusuk", lalu Rasulullah SAW bersabda: "Apakah kutu-kutu itu mengganggu?" Rasulullah menyuruh agar orang itu bercukur dan membayar fidyah.
(Diriwayatkan oleh Ahmad yang bersumber dari Ka'b.)

Dalam riwayat lainnya dikemukakan: Ketika Rasulullah SAW dan para shahabat berhenti di Hudaibiah (dalam perjalanan umrah) datanglah Ka'b bin 'Ujrah yang di kepala dan mukanya bertebaran kutu karena banyaknya. Ia berkata: "Ya Rasulullah, kutu-kutu ini sangat menyakitkanku." Maka turunlah ayat "faman kana minkum maridlan aw bihi adzan mirra'shihi fafidyatun min shiyamin aw shadaqatin aw nusuk" (S. 2: 196).
(Diriwayatkan oleh al-Wahidi dari 'Atha yang bersumber dari Ibnu Abbas.)



  
197. (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi[122], barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats[123], berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa[124] dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.

[122]. Ialah bulan Syawal, Zulkaidah dan Zulhijjah.

[123]. Rafats artinya mengeluarkan perkataan yang menimbulkan berahi yang tidak senonoh atau bersetubuh.

[124]. Maksud bekal takwa di sini ialah bekal yang cukup agar dapat memelihara diri dari perbuatan hina atau minta-minta selama perjalanan haji.

Menurut suatu riwayat, orang-orang Yaman apabila naik haji tidak membawa bekal apa-apa, dengan alasan tawakal kepada Allah. Maka turunlah "watazawwadu fa inna khairo zadi taqwa" sebagian dari (S. 2: 197)
(Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan lain-lainnya yang bersumber dari Ibnu Abbas.)


 
198. Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam[125]. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.

[125]. Ialah bukit Quzah di Muzdalifah.

Menurut suatu riwayat, pada zaman Jahiliyyah terkenal pasar-pasar bernama Ukadh, Mijnah dan Dzul-Majaz. Kaum Muslimin merasa berdosa apabila berdagang di musim haji di pasar itu. Mereka bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hal itu. Maka turunlah "Laisa 'alaikum junahun an tabtaghu fadl-lan min rabbikum" (awal ayat S. 2: 198) yang membenarkan mereka berdagang di musim haji.
(Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari Ibnu Abbas.)

Menurut riwayat lain Abi Umamah at-Taimi bertanya kepada Ibnu Umar tentang menyewakan kendaraan sambil naik haji. Ibnu Umar menjawab: "Pernah seorang laki-laki bertanya seperti itu kepada Rasulullah SAW yang seketika itu juga turun "Laisa 'alaikum junahun an tabtaghu fadl-lan min rabbikum". Rasulullah SAW memanggil orang itu dan bersabda: "Kamu termasuk orang yang menunaikan ibadah haji."
(Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, al-Hakim dan lainnya, yang bersumber dari Abi Umamah at-Taimi.)



  
199. Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak ('Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa orang-orang Arab wuquf di 'Arafah, sedang orang-orang Quraisy wuquf di lembahnya (Muzdalifah), Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2:199) yang mengharuskan wuquf di 'Arafah.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibnu Abbas.)

Menurut riwayat lain, orang-orang Quraisy wuquf di dataran rendah Muzdalifah, dan selain orang Quraisy, wuquf di dataran tinggi 'Arafah kecuali Syaibah bin Rabi'ah. Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas (S. 2:199) yang mewajibkan wuquf di 'Arafah.
(Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir yang bersumber dari Asma binti Abi Bakar.)



 
200. Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu[126], atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.

[126]. Adalah menjadi kebiasaan orang-orang Arab Jahiliyah setelah menunaikan haji lalu bermegah-megahan tentang kebesaran nenek moyangnya. Setelah ayat ini diturunkan maka memegah-megahkan nenek moyangnya itu diganti dengan dzikir kepada Allah.

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa orang-orang Jahiliyyah wuquf di musim pasar. Sebagian dari mereka selalu membangga-banggakan nenek moyangnya yang telah membagi-bagi makanan, meringankan beban, serta membayarkan diat (denda orang lain). Dengan kata lain, di saat wuquf itu, mereka menyebut-nyebut apa yang pernah dilakukan oleh nenek moyangnya. Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 200) sampai: asyadda dzikira, sebagai petunjuk apa yang harus dilakukan di saat Wuquf.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas.)

Menurut riwayat lain, orang-orang di masa itu apabila telah melakukan manasik, berdiri di sisi jumrah menyebut-nyebut jasa-jasa nenek moyang di zaman jahiliyyah. Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 200) sebagai petunjuk apa yang harus dilakukan di sisi Jumrah.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Mujahid.)

Menurut riwayat lain, salah satu suku bangsa Arab sesampainya ke tempat wuquf berdoa: "Ya Allah, semoga Allah menjadikan tahun ini tahun yang banyak hujannya, tahun makmur yang membawa kemajuan dan kebaikan. Mereka tidak menyebut-nyebut urusan akhirat sama sekali. Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas sampai akhir ayat (S. 2: 200) sebagai petunjuk bagaimana seharusnya berdoa. Setelah itu kaum Muslimin berdoa sesuai petunjuk dalam al-Qur'an (S. 2: 201) yang kemudian ditegaskan oleh Allah SWT dengan firman-Nya ayat berikutnya (S. 2: 202).
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas.)





 AYAT : 1 - 20, 21 - 40, 41 - 60, 61 - 80, 81 - 100, 101 - 120, 121 - 140, 141 - 160, 161 - 180, 181 - 200, 201 - 220, 221 - 240, 241 - 260, 261 - 280, 281 - 286.

0 komentar

Post a Comment

Demi kenyamanan pengunjung.
Tolong komentarnya yang berhubungan dengan artikel.
Tindakan spam akan terjaring otomatis oleh spam filter.
Dan apabila terdapat Link yang rusak, harap segera hubungi Admin dikotak komentar.
Terima kasih.

"Dilarang Menyimpan Link Aktif"
Admin.

Pencarian

Translate

..............................................................................................................................................................................................................................................................................................................................